Dalam dunia pendidikan modern, tidak sedikit dari kita melihat anak-anak yang hanya fokus mengisi otak mereka dengan informasi dari buku atau internet. Mereka memang belajar, tetapi tidak jarang mereka tumbuh tanpa pernah menyentuh pekerjaan fisik sehari-hari yang sederhana. Hasilnya? Empati mereka terkikis bahkan sebelum sempat berkembang.
Mengutip dari tulisan Ustadz M. Fauzil Adhim, kondisi ini sangat nyata, terutama pada anak-anak yang bersekolah di asrama atau lembaga yang menyediakan fasilitas lengkap. Di tempat-tempat seperti ini, mereka terbiasa dengan makanan yang selalu tersedia pada jam makan, tanpa harus terlibat langsung dalam persiapan atau penyajiannya. Pakaian juga selalu bersih dan wangi berkat jasa laundry yang sudah siap pakai. Ketika waktu belajar tiba, mereka tinggal mengikuti jadwal yang sudah diatur, tanpa khawatir tentang hal-hal praktis lainnya. Hal ini memang tampak nyaman, tetapi kenyataannya anak-anak ini tidak terlatih dalam mengelola diri dan mengatur waktu—dua hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan nyata.
Membangun Empati Melalui Kegiatan Sehari-hari
Ustadz Fauzil menekankan bahwa ketika anak-anak ini pulang ke rumah, penting bagi orang tua untuk mengajari mereka melakukan tugas-tugas rumah tangga. Jangan serahkan semuanya pada asisten rumah tangga. Kegiatan sehari-hari seperti mencuci piring, merapikan tempat tidur, atau memasak bersama dapat menjadi cara sederhana untuk melatih kecakapan dan empati mereka. Meskipun tampaknya sepele, kegiatan ini mengajarkan mereka banyak hal, mulai dari mengelola diri, mengatur waktu, hingga membangun rasa empati terhadap orang-orang di sekitar.
Dengan kata lain, memberi kesempatan kepada anak untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga bukan hanya untuk membangun kemandirian, tetapi juga empati. Dengan ikut terlibat, anak-anak belajar merasakan kelelahan fisik, memahami susahnya membersihkan rumah, dan menghargai kerja keras orang lain.
Mengambil Pelajaran dari Kisah Zhang Xinyang dan Billy Sidis
Kisah Zhang Xinyang, seorang anak ajaib dari Tiongkok yang telah mampu menguasai 2000 abjad China pada usia 2,5 tahun dan berhasil masuk perguruan tinggi pada usia 10 tahun, sempat menghebohkan dunia. Zhang meraih gelar Ph.D. di usia 16 tahun, sebuah pencapaian luar biasa. Namun, di balik kesuksesan akademiknya, ada sisi lain yang mungkin kurang disadari oleh banyak orang.
Dari luar, Zhang tampak hebat dan cemerlang. Tetapi, di balik itu, ada masalah besar yang muncul. Dua belas tahun setelah ia meraih gelar doktor termuda dalam sejarah China, Zhang memilih untuk menghabiskan waktunya dengan duduk diam sepanjang hari. Ia bahkan mengungkapkan bahwa “Duduk diam dan tidak melakukan apa-apa adalah kunci kebahagiaan seumur hidup.” Zhang mengaku merasa kosong dan menyalahkan orang tuanya atas kehampaan yang ia rasakan, dan kini hidupnya hanya bergantung pada kiriman uang dari orang tua.
Kisah Zhang mengingatkan kita pada William James Sidis, seorang anak jenius dari Amerika yang memiliki nasib serupa. Dibesarkan oleh ayahnya, Professor Boris Sidis, dengan pendekatan behaviorisme yang ketat, William Sidis berhasil mencapai prestasi akademik yang mengesankan di usia muda. Namun, tekanan besar yang ia alami sejak kecil justru membuatnya merasa sangat menderita secara mental dan emosional di kemudian hari.
Kedua kisah ini menunjukkan bahwa keberhasilan akademik atau pencapaian intelektual tidak selalu membawa kebahagiaan atau kesejahteraan bagi anak. Justru, fokus yang berlebihan pada pengembangan bakat tanpa memperhatikan kebutuhan psikologis dan emosional anak dapat berdampak buruk bagi masa depannya.
Keseimbangan dalam Pendidikan Anak: Antara Bakat dan Kebaikan
Mengembangkan bakat memang penting, tetapi lebih penting lagi untuk memperhatikan perkembangan karakter dan kebaikan dalam diri anak. Seperti yang diingatkan dalam buku Ta’ziizur Raqabatidz Dzatiyah, sebelum usia mumayyiz (usia ketika anak mulai bisa membedakan yang benar dan salah), fokus utama pendidikan seharusnya adalah mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Jangan terburu-buru memaksa anak untuk mencapai prestasi tertentu sebelum mereka siap secara psikologis dan emosional.
Pendidikan yang menekankan kebaikan akan memberikan pondasi yang kuat bagi anak untuk menghadapi tantangan kehidupan di masa depan. Kebaikan ini tidak bisa ditumbuhkan begitu saja; ia harus dipupuk dengan membangun hubungan yang kuat dan saling percaya antara anak dan orang tua.
Menyeimbangkan Pendidikan Akademik dan Pengalaman Praktis
Dalam konteks pendidikan di rumah atau home-based education, orang tua memiliki kesempatan lebih besar untuk menyeimbangkan pendidikan akademik dan pendidikan praktis bagi anak-anaknya. Pendidikan berbasis fitrah, yang melihat anak sebagai pribadi utuh dengan berbagai kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual, dapat menjadi alternatif yang baik untuk membentuk karakter anak secara menyeluruh.
- Libatkan Anak dalam Kegiatan Sehari-hari
Ajak anak untuk melakukan tugas-tugas praktis, seperti memasak, membersihkan rumah, atau mengurus tanaman. Kegiatan ini mengajarkan mereka tentang pentingnya kerja keras dan menghargai hasil usaha orang lain. - Mengajarkan Rasa Syukur
Dalam kehidupan modern yang serba mudah, anak-anak seringkali lupa untuk bersyukur. Dengan melibatkan mereka dalam tugas-tugas rumah tangga, mereka belajar bahwa setiap hal yang mereka miliki—makanan, pakaian bersih, tempat tinggal yang nyaman—tidak datang begitu saja. - Memberi Tanggung Jawab yang Sesuai
Memberikan tanggung jawab kepada anak-anak sesuai usia mereka dapat membantu mereka belajar mengatur waktu dan mengelola diri. Misalnya, meminta mereka untuk membersihkan mainan setelah bermain atau membantu menyapu lantai. - Mengasah Empati Sejak Dini
Anak-anak perlu belajar bahwa di dunia ini ada orang lain selain dirinya. Ketika mereka diberi kesempatan untuk merasakan kesulitan orang lain, seperti merapikan tempat tidur atau mencuci piring, mereka akan lebih mudah untuk menumbuhkan empati. - Membentuk Kebiasaan yang Positif
Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti membersihkan diri, merapikan kamar, atau menolong orang lain dapat membentuk karakter yang baik dan penuh empati pada anak. Hal-hal kecil ini, jika dilakukan secara konsisten, akan membawa pengaruh besar pada perkembangan kepribadian anak.
Kesimpulan: Membentuk Generasi yang Tangguh dan Berempati
Mengasuh dan mendidik anak bukanlah tugas yang mudah, tetapi penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa membesarkan anak bukan hanya tentang mengembangkan bakat atau prestasi akademik mereka. Lebih dari itu, kita harus memastikan bahwa mereka tumbuh dengan kebaikan hati, empati, dan kemampuan untuk memahami serta menghargai orang lain.
Penting bagi orang tua untuk menciptakan keseimbangan dalam pendidikan anak, di mana kecerdasan intelektual diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan memberikan contoh dari kisah Zhang Xinyang dan Billy Sidis, kita diingatkan bahwa kesuksesan sejati bukanlah sekadar pencapaian akademik, tetapi juga kebahagiaan dan ketenangan batin.
Dalam mendidik anak, kita tidak perlu terburu-buru. Berikan kesempatan bagi mereka untuk belajar dari kehidupan nyata, dari hal-hal sederhana yang mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya membentuk karakter mereka. Dengan cara ini, kita bisa membantu mereka tumbuh menjadi generasi yang tangguh, mandiri, dan penuh empati.
Sumber: Ustadz M. Fauzil Adhim